RSS

Minggu, 29 April 2012

'Perception' a true story

Try to writing english true short story, before make this post, I read the article on old uncle's newspaper  :) emmm it lay on the floor --____--

..Something to think about...



Washington, DC Metro Station on a cold January morning in 2007. The man with a violin played six Bach pieces for about 45 minutes. During that time approx. 2 thousand people went through the station, most of them on their way to work. After 3 minutes a middle aged man noticed there was a musician playing. He slowed his pace and stopped for a few seconds and then hurried to meet his schedule.



4 minutes later:
the violinist received his first dollar: a woman threw the money in
the hat and, without stopping, continued to walk...

6 minutes:
A young man leaned against the wall to listen to him, then looked at his watch and started to walk again.

10 minutes:
A 3-year old boy stopped but his mother tugged him along hurriedly. The kid stopped to look at the violinist again, but the mother pushed hard and the child continued to walk, turning his head all the time. This action was repeated by several other children. Every parent, without exception, forced their children to move on quickly.

45 minutes:
The musician played continuously. Only 6 people stopped and listened for a short while. About 20 gave money but continued to walk at their normal pace. The man collected a total of $32.
1 hour:

He finished playing and silence took over. No one noticed. No one
applauded, nor was there any recognition.
No one knew this, but the violinist was Joshua Bell, one of the
greatest musicians in the world. He played one of the most intricate pieces ever written, with a violin worth $3.5 million dollars. Two days before Joshua Bell sold out a theater in Boston where the seats averaged $100.


This is a true story. Joshua Bell playing incognito in the metro station was organized by the Washington Post as part of a social experiment about perception, taste and people's priorities. The questions raised: in a common place environment at an inappropriate hour, do we perceive beauty? Do we stop to appreciate it? Do we recognize talent in an unexpected context?

One possible conclusion reached from this experiment could be this: If we do not have a moment to stop and listen to one of the best musicians in the world, playing some of the finest music ever written, with one of the most beautiful instruments ever made.... How many other things are we missing?

Thats the point!  :)




Sabtu, 28 April 2012

Modus yeah you are anomali and me?

Hell-oooo guys, minggu kemarin gue baru aja lagi menyentuh yang namanya cinema. oh my ternyata gue terlalu rajin kuliah ya ternyata. hahaha


anyway, kemarin gue nonton sama temen2 kampus gue disalah satu cinema dibilangan pemuda (enggan menyebut tempatnya). sebenernya nonton juga gara-gara dapet tiket gratisan.
well, akhirnya kita nonton juga yang namanya "Modus Anomali"


 

damn!!!!!! I didnt get the point of this film on the theater. gue baru ngeh pas gue pulang deh jalan ceritanya ternyata begitu.
sorry y'all guys, I cant explain the story. Its soooooooooooooooo fuckin physco movie ever after. *at this momment*




Two Thumbs for Joko Anwar and crew, FYI:  this movie has been shown in USA. wow funtastic.





Ps: Rio Dewanto! you are fuckin bitch man!!!!!!!! hot! always make me thirsty, iuhhhhhh :p

Selasa, 24 April 2012

your mind


Aol, menurut penglihatanku. Dia orangnya egois. Mau menang sendiri. Tukang boong. Jelek, gendut, item. Harus nurutin permintaannya dia. Gengsinya gede. Keluarganya aneh. Tergantung sama oranglain. Ngerepotin maunya gratisan aja. Malas banget. Suka ngelepas tanggung jawab. Suka pamer kelebihan. Sombong. Kasar. Dan ga dewasa sifatnya. Ga mau punya sahabat kaya dia lagi. Capek hati dan Kapok deh sayo. Mau ngejauh aja, cari sahabat baru dan buka link-link baru aja, jaga jarak aja sekarang sama dia. :)

Senin, 23 April 2012

Difusi Inovasi Pembelajaran


Hasil Observasi Inovasi Program ESP pada Mata Pelajaran Bahasa Inggris di SMA Negeri 39 Jakarta Timur
Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Difusi Inovasi Pembelajaran

Oleh
Ayu Sityamurti
1215101945
Teknologi Pendidikan
Universitas Negeeri Jakarta


Profil Sekolah
Nama Sekolah                      : SMA Negeri 39 Jakarta
Alamat                                   : Jl.RA. Fadillah Komp.Kopassus Jakarta Timur
Kepala Sekolah                    : Drs. Didih Hartaya
Mata Pelajaran                      : Bahasa Inggris
Guru Mata Pelajaran           : Drs. Lasmer

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan inovasi program English Special Purpose (ESP) yang dilakukan oleh Sekolah Menengah Atas Negeri 39  Jakarta sebagai sekolah berstandar perintisan internasional, serta sejauh mana ESP itu dapat mencapai tujuannya.
Latar Belakang
English For Specific Purposes (ESP) atau Bahasa Inggris untuk tujuan khusus adalah suatu pendekatan baru dalam pengajaran dan penggunaan BahasaInggr is untuk bidang dan kajian khusus yang sesuai dengan  kebutuhan bidang ilmu dan profesi pengguna Bahasa Inggris tersebut. Bidang ilmu dan profesi tersebut misalnya Bahasa Inggris untuk  ilmu hukum,  kedokteran, teknik mesin,ekonomi, atau maritim dan lain sebagainnya. Robinson selanjutnya mengatakanIt (here ESP) is generally used to refer to the teaching and learning of a foreign language for a clearly itilitarian purpose of which there is no doubt.”

Robinson selanjutnya mengatakan bahwa ada tiga ciri utama ESP yang membedakannya dengan General English atau English a Foreign Language (EFL) atau English as a Mother Tongue  EMT). Ketiga karakteristik tersebut adalah :
1.      ESP  adalah pembelajaran yang berorientasi tujuan (goal oriented).Dalam konteks ini, pembelajar belajar  Bahasa Inggris bukan karena alasan ingin tahu bahasa itu sebagai bahasa dan budaya yang terkandung di dalamnya, tetapi pembelajar belajar ESP karena memiliki tujuan khusus, tertentu dan spesifik dalam bdang akademik dan profesi yang satu dengan yang lainnya.
2.      Substansi ESP  dirancang dan dikembangkan berdasarkan konsep analisis  kebutuhan (need analysis). Konsep analisis kebutuhan bertujuan untuk mengkhususkan dan mengkaitkan serta mendekatkan apa yang dibutuhakan pembelajar baik dalam bidang akademik maupun profesi.
3.      ESP lebih ditujukan pada pembelajar dewasa daripada anak atau remaja. Hal ini logis karena ESP umumnya diajarkan pada tingkatan akademik menengah dan tinggi dan profesional atau tempat kerja.


Program English Special Purpose (ESP) adalah bagian dari kegiatan pembelajaran pada mata pelajaran Bahasa Inggris di SMA Negeri 39. Program ini dibuat bertujuan untuk membantu para peserta didik mempermudah pelafalan Bahasa Inggris dikeseharian peserta didik. Pada konteks ini, Guru yang mengajar Bahasa Inggris dengan guru yang memberikan materi ESP adalah guru yang sama. Guru mata pelajaran Bahasa Inggris, Drs. Lasmer mengatakan bahwa pada awalnya sebelum diterapkan program ESP masih banyak masalah pada murid dalam penyerapan materi, seperti :
·         Peserta didik tidak terbiasa mengucapkan kata-kata bahasa Inggris.
·         Peserta didik lamban menyerap materi pronoun dan sebagainya karena tidak terbiasa berdialog menggunakan bahasa inggris.
·         Peserta didik susah menghafal pola tenses karena guru hanya memberikan materi dan contoh yang sedikit.
Program ESP sendiri adalah sebuah program muatan lokal yang mendasari pola pembelajaran collaborative learning dimana siswa dituntut berperan aktif. Waktu pengajarannya berbeda dengan pelajaran Bahasa Inggris itu sendiri(diluar pelajaran bahasa inggris). Waktu belajarnyapun juga lebih sedikit 10 menit dibanding dengan Bahasa Inggris.
Pada Program ESP di SMA Negeri 39 ini, ada suatu kajian ilmu khusus yang dimasukan kedalam pembelajaran ESP, yaitu bidang Kebudayaan Jakarta pada kelas X, Kebudayaan Daerah pada kelas XI dan Kebudayaan Dunia pada kelas XII.
Disetiap bab materi, siswa dituntut untuk membuat suatu mini drama menggunakan bahasa inggris yang pertama-tama dijelaskan terlebih dahulu secara singkat materi apa yang akan dipelajari (summary) dan dimasukan kedalam mini drama tersebut, pada intinya siswa diajak untuk terbiasa dalam lingkungan yang berbahasa inggris. Lama-kelamaan siswa sangat terbiasa dengan hal tersebut. Kemudian pada akhir semester, diadakan test untuk berdialog dengan duta asing yang berkerjasama dengan pihak sekolah untuk menguji kelancaran pronoun siswa. Hasil evaluasi juga dapat ditentukan oleh test TOEFL yang diadakan di akhir tahun ajaran.

Penjabaran berdasarkan Karakteristik Inovasi :
  1. Keunggulan relatif (relative advantage)
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik atau unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi eknomi, prestise sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.

 Program English Special Purpose (ESP) dirasakan lebih baik atau unggul dibandingkan dengan program dampingan Bahasa Inggris lainnya, yang selama ini dilakukan oleh seorang guru di depan kelas. Selain itu, Program ESP juga lebih memiliki daya tarik bagi siswa karena mereka dilibatkan langsung dalam proses pembelajaran, tidak pasif hanya duduk dan mendengarkan saja. Keunggulan lainnya yaitu melalui Program ESP akan mempermudah guru dalam menyampaikan materi yang dikemas secara singkat dan jelas tanpa harus memaparkan panjang lebar materi di depan kelas, karena yang lebih banyak bertindak dalam proses pembelajaran adalah siswa.

  1. Kompatibilitas (compatibility)
Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).

Program ESP sudah sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 yang menjelaskan bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah ‘mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik……’ metode ini dirasa mampu membantu pembentukan watak peserta didik serta perkembangan potensi yang dimilikinya. Program ESP dianggap sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku.

  1. Kerumitan (complexity)
Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.

Inovasi ini dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh para pengadopsi alias guru sebagai pendidik. Ini terbukti dengan tanggapan dari siswa dan guru yang sudah menerapkannya dalam proses pembelajaran di kelas. Siswa yang awalnya tidak menyukai pelajaran Bahasa Inggris, dengan menerapkan metode ini menjadi lebih tertarik dengan Bahasa Inggris.
  1. Kemampuan diujicobakan (trialability)
Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam setting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan (mendemonstrasikan) keunggulannya.

Program ESP sudah diujicobakan baik di kelas X, XI maupun XII SMAN 39 Jakarta dan terbukti cukup efektif dalam memecahkan masalah belajar, para guru yang mengajar Bahasa Inggris merasa Program ESP telah memberikan solusi yang luar biasa dalam proses pembelajaran. Siswa juga merasakan kemudahan dalam menerima materi pelajaran Tenses Bahasa Inggris yang dianggap sulit menjadi lebih mudah untuk dipajami.

  1. Kemampuan diamati (observability)
Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi.

Program ESP dapat diamati secara langsung teknis prakteknya di kelas X, XI maupun XII yang sedang melaksanakan program ESP pada hari itu di SMAN 39 Jakarta. Jadi dapat dikatakan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.

Poses Difusi inovasi
Elemen difusi inovasi yaitu:
·         Inovasi itu sendiri, dalam hal ini inovasi yang akan didifusikan yaitu penggunaan ESP untuk pembelajaran Bahasa Inggris.
·         Saluran komunikasi yang digunakan yaitu saluran komunikasi intrapersonal, Karena siswa adalah orang yang mendifusikannya masing-masing, mereka dengan sadar menerapkan sendiri ESP yang sudah diajarkan kedalam pelajaran Bahasa Inggris.
·          Waktu, pendifusian dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun, selama siswa berada di bawah asuhannya dalam mata pelajaran Bahasa Inggris.
·         Sistem sosial yang menjadi target pendifusian inovasi yaitu kelas Bahasa Inggris di bawah asuhan Drs.Lasmer

Dalam kasus ini sistem difusi yang digunakan yaitu sistem desentralisasi, sebab penentuan tentang berbagai hal seperti: kapan dimulainya difusi inovasi, dengan saluran apa, siapa yang akan menilai hasilnya, dan sebagainya, dilakukan oleh semua siswanya masing-masing.

Penjabaran berdasarkan Proses Pengambilan Keputusan Inovasi :

1.     Tahap Pengetahuan (knowledge)
Sebagai seseorang guru, Drs. Lasmer memiliki kedudukan sebagai opinion leader di dalam kelas, sebab inovasi ini merupakan inovasi pada level kelas, sehingga Beliau memiliki wewenang penuh terhadap siswanya. Beliau mulai memberikan informasi seputar Program ESP yang akan diterapkan ke dalam kelas yang diajar kepada calon adopter yaitu seluruh siswa asuhannya, sehingga calon adopter memiliki gambaran mengenai teknis pelaksanaan ESP.

2.     Tahap Persuasi (persuasion)
Pada tahap ini guru menghimbau para calon adopter (siswa) untuk mencoba menerapkan hasil belajar ESP selama proses pembelajaran Bahasa Inggris berlangsung, serta menjelaskan manfaat yang akan diperoleh, sehingga akan membangun kesadaran dalam diri siswa untuk berperilaku sebagai active learner.

3.     Tahap Pengambilan Keputusan (Decision)
Pada tahap ini individu akan memutuskan untuk mengadopsi atau tidak suatu inovasi. Dalam hal ini inovasi yang didifusikan berasal dari orang yang memiliki wewenang penuh terhadap calon adopter yaitu guru, sehingga dapat dikatakan proses difusi inovasi yang berlangsung bersifat otoritas. Otoritas adalah keputusan yang dipaksakan kepada seseorang (siswa) oleh individu yang berada dalam posisi atasan (guru). Maka seluruh siswa mau tidak mau harus mengadopsinya. Namun proses keputusan ini berlangsung secara bertahap.
4.      Tahap Pelaksanaan (implementation)
Pada tahapan ini siswa sebagai adopter mulai menerapkan ESP sesuai dengan teknik pelaksanaan atau prosedur yang telah dijelaskan oleh sang guru (pada tahap pengetahuan). Di awal pelaksanaan masih banyak miss komunikasi yang terjadi, misalnya ada siswa yang salah masuk kelompok atau masih ada siswa yang kebingungan mengenai metode pembelajaran ini. Namun secara keseluruhan proses pembelajaraan berjalan dengan baik.

5.        Tahap Konfirmasi (Confirmation)
Pada tahapan konfirmasi siswa sebagai adopter menyadari bahwa banyak manfaat yang didapat selama menerapkan ESP dalam pelajaran Bahasa Inggris, diantaranya mereka menjadi lebih aktif selama di kelas.

Sumber:
Drs. Lasmer (Selaku guru Bahasa Inggris dan ESP SMA Negeri 39 Jakarta)
(Strevens,1988) Kristen Gatehouse. Key Issues in English for Specific Purposes (ESP)Curriculum Development  oleh Kristen Gatehouse

http/www.khe-service.com/7/26/2009
http://www.scribd.com/doc/53614308/15/Pengertian