10 minutes:
Thats the point! :)
Sebuah Cerita Kehidupan...
Oleh: Tidak Diketahui
Seorang ibu berprofesi peminta-minta yang berada di sudut lampu merah itu menggendong anaknya yang masih kecil, berjalan mendekati seorang pedagang makanan keliling. Dengan beberapa ratus rupiah sebuah bungkus permen itu berpindah tangan, yang kemudian diberikannya kepada sang anak di gendongan. Sang anak dengan wajah ceria menerima dan kemudian memainkannya tanpa bermaksud memakannya, mungkin karena tidak tahu bagaimana cara membukanya atau memang dia hanya memainkannya. Sang kakak mendekatinya dan mencoba untuk meminta permen itu, tapi sang adik tak memberikannya dan karena kakanya memaksa maka menangislah si kecil. Sebuah potret nuansa kehidupan manusia di kota metropolitan, sebuah foto yang jelas menggambarkan bagaimana beratnya mengarungi kehidupan ini.
Anak mungil yang tidak seharusnya berada tiap hari di jalanan yang penuh dengan kotoran kimia itu tanpa dapat menolak harus menjalaninya, dia harus bersahabat dengan semua kotoran, debu, motor, dan mobil serta orang-orang yang lewat di lampu merah itu, dia, tanpa pernah mengerti menghirup bulat-bulat semua hal yang di sajikan di depan hidungnya, semua kotoran yang seharusnya di buang oleh kuda-kuda besi itu harus dihirup dan dimasukkan ke paru-parunya yang kecil, harus dialirkan oleh darahnya ke semua sudut bagian tubuh mungilnya. Sebuah cerita sedih yang tak tau kapan akan berakhir.
Sang kakak yang masih berusia 6 tahunan, yang juga tidak seharusnya menemaninya karena bukankah dia sudah cukup umur untuk masuk ke sebuah sekolah ? untuk duduk di bangku kecil dan mendengarkan semua pelajaran yang diberikan oleh sang guru ? bukankah dia sebaiknya bermain di sebuah tanah lapang yang cukup asri daripada harus bermain di pinggiran trotoar jalan ? bukankah dia layak untuk mendapatkan teman-teman yang lebih baik untuk bermain daripada bermain dengan orang-orang yang berumur jauh lebih tua darinya ?
Dan sang ibu, yang menjadi sumber dari segala sumber ini semua, apakah patut disalahkan ? mungkinkah dia dapat meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil itu di rumah, jika mereka mempunyai rumah, sendiri tanpa pengawasan ? mungkinkah dia akan berada di jalanan kalo dia mempunyai suami yang bisa memberikan nafkah bagi keluarga kecil itu ? mungkinkah dia akan "mengorbankan" masa depan anaknya dengan cara seperti itu ? ataukah dia seorang ibu yang malas yang hanya memikirkan jalan pintas untuk mendapatkan uang tanpa memikirkan nasib anak-anaknya ? ataukah dia memang tidak tahu bahwa semua yang dia lakukan itu merusak kehidupan masa depan anak-anaknya ? atau dia memang sudah putus asa dengan semua kemiskinan yang selalu menemani sepanjang kehidupannya ?
Sebuah cerita kehidupan yang selalu berulang dan berulang, kapankah akan usai ?
Cerita singkat dari sepupu yang masih labil, sepertinya dia sudah dewasa, mari kita simak~
Gue hanya bisa ngasih judul ini : Mengeluh.dan Bersyukur. nyahahahaha (aol)
10 November 2011
Pernahkah kamu berpikir betapa bahagianya kamu di dunia ini? Kamu bersekolah, mendapatkan tempat berlindung, punya HP, bisa internetan, bisa main ke mana pun, foya-foya.
Pernah suatu hari aku pergi bersama keluargaku. Ayah mengendarai mobil di kursi kemudi, adik duduk bersantai mendengarkan musik, ibu duduk di kursi penumpang sambil berkutit dengan Hpnya, aku memandang keluar jendela sambil melamun dan memperhatikan orang-orang di luar sana. Aku menangkap sesosok anak kecil, kira-kira 2-3 tahun, berjalan-jalan sambil memegang kecrekan di tangannya. Satu-satu ia singgahi jendela mobil-mobil yang berada di dekatnya, berharap ada sekeping receh yang ia dapat. Mobil demi mobil menolaknya, kemudian ada satu mobil yang memberinya (mungkin) 500 rupiah. Dengan senyum merekah ia mengambil uang itu dan kembali mengecek kecrekannya ke mobil lain. Ya ampun anak itu... sewaktu seusianya aku hanya bisa merengek minta dibelikan kembang gula dan boneka barbie.
Ayah melajukan mobilnya, pemandangan beralih kepada seorang ibu yang sedang menggendong anak bayinya. Bayi itu begitu dekil, ingusan, penuh debu, ada sedikit koreng di tangan kanannya, dan mungkin ia mengenakan popok yang sudah berhari-hari. Aku teringat diriku di foto-fotoku sewaktu bayi. Banyak yang menggendongku, merawatku, memberikan cium dan peluk kasih sayang kepadaku. Ayah, ibu, nenek, kakek, mbah kakung, mbah putri, bude, pakde, sepupu, semuanya. Aku begitu disanjung. Tubuhku dibedaki sehabis mandi, aku harum dan bersih, bajuku bersih dan popokku diganti berkali-kali. Aku tak pernah membayangkan seandainya bayi yang digendong ibu-ibu di tepi jalan yang aku lihat tadi adalah diriku.
Sekarang ayah berhenti di lampu merah. Terlihat kembali pemandangan yang membuatku merenung. Seorang bocah yang mungkin berusia belasan tahun sedang membawa-bawa kemoceng. Ia menawarkan jasa pembersihan kaca mobil, dari satu mobil ke mobil lain. Ada segerombolan anak muda yang mungkin berusia 19-20 tahun sedang mengobrol di RTH di dekat jalan. Sambil bercanda gurau mereka menghisap berbatang-batang rokok. Sebagian dari mereka turun ke jalan sambil menggenjrengkan gitar reyotnya, bernyanyi dengan suara keras dan gembira. Aku ingin tahu, sangat ingin tahu apa yang membuat waja mereka bahagia. Sewaktu aku berusia setara dengan bocah kemoceng tadi hingga sekarang, aku selalu berurusan dengan pelajaran di sekolah. Sekolah yang seharusnya aku berjuang mati-matian di dalamnya. Aku tak pernah berpikir seandainya aku yang membawa kemoceng ataupun gitar ke jalanan yang panas dan berdebu, ataupun aku merokok di pohon-pohon pinggir jalan sambil melontarkan kata-kata kasar yang seharusnya tak diucapkan. Aku berutung, aku dapat bersekolah. Sekolahku nyaman, teduh, dilengkapi dengan pendingin ruangan dan LCD.
Apa yang membuatku kurang? Apa yang membuatku tidak beruntung? Sudah seharusnya aku bersyukur, dan tidak mengeluh atas rintangan kecil yang Tuhan berikan kepadaku. Rintangan itu hanya seujung kuku bagi-NYA. Jadi untuk apa aku hanya mengeluh dan terlarut dalam keputusasaanku? Seharusnya aku tegar, tegak berdiri menghadapi segala rintangan yang menghalangi langkahku.
Jalanku ke depan masih panjang, aku diberikan keberuntungan dan kasih sayang yang besar dari Tuhanku. Bukan waktunya aku merengek. Nikmat yang diberikan-NYA kepadaku bahkan lebih besar, sangat jauh lebih besar dari apa yang dapat aku syukuri dalam setiap do’aku.
Setiap napasku, setiap aliran darah dalam nadiku, dan bahkan setiap degup jantungku pun selalu mengagungkan nama-NYA.
Kenapa aku harus tidak?
just wanna share..
ada sebuah cuplikan film animasi, The Lion King, yang mungkin kalian pernah lihat, mengandung nilai yang sangat berharga.
--------------------
Simba: going back means I have to face my past. I've been running for so long.
*Rafiki memukul Simba dgn tongkatnya*
Simba: aw, geez.. what's that for?
Rafiki: it doesn't matter, it's in the past. hahaha!
Simba: yea, but it's still hurts.
Rafiki: oh yea, past came hurt, but the way I see, you can run from it, or learn from it.
*Rafiki memukul Simba untuk yang kedua kalinya, tapi Simba mengelak*
Rafiki: HA! you see? so what are you going to do?
-----------------------
dari contoh film anak-anak aja kita bisa ngambil sebuah intisari dan nilai kehidupan yang mungkin kita ga sadari sebelumnya.
masa lalu memang terkadang membawa "sakit" tapi itu pilihan kalian, mau lari darinya atau belajar darinya.
got the point? :)