Cerita singkat dari sepupu yang masih labil, sepertinya dia sudah dewasa, mari kita simak~
Gue hanya bisa ngasih judul ini : Mengeluh.dan Bersyukur. nyahahahaha (aol)
10 November 2011
Pernahkah kamu berpikir betapa bahagianya kamu di dunia ini? Kamu bersekolah, mendapatkan tempat berlindung, punya HP, bisa internetan, bisa main ke mana pun, foya-foya.
Pernah suatu hari aku pergi bersama keluargaku. Ayah mengendarai mobil di kursi kemudi, adik duduk bersantai mendengarkan musik, ibu duduk di kursi penumpang sambil berkutit dengan Hpnya, aku memandang keluar jendela sambil melamun dan memperhatikan orang-orang di luar sana. Aku menangkap sesosok anak kecil, kira-kira 2-3 tahun, berjalan-jalan sambil memegang kecrekan di tangannya. Satu-satu ia singgahi jendela mobil-mobil yang berada di dekatnya, berharap ada sekeping receh yang ia dapat. Mobil demi mobil menolaknya, kemudian ada satu mobil yang memberinya (mungkin) 500 rupiah. Dengan senyum merekah ia mengambil uang itu dan kembali mengecek kecrekannya ke mobil lain. Ya ampun anak itu... sewaktu seusianya aku hanya bisa merengek minta dibelikan kembang gula dan boneka barbie.
Ayah melajukan mobilnya, pemandangan beralih kepada seorang ibu yang sedang menggendong anak bayinya. Bayi itu begitu dekil, ingusan, penuh debu, ada sedikit koreng di tangan kanannya, dan mungkin ia mengenakan popok yang sudah berhari-hari. Aku teringat diriku di foto-fotoku sewaktu bayi. Banyak yang menggendongku, merawatku, memberikan cium dan peluk kasih sayang kepadaku. Ayah, ibu, nenek, kakek, mbah kakung, mbah putri, bude, pakde, sepupu, semuanya. Aku begitu disanjung. Tubuhku dibedaki sehabis mandi, aku harum dan bersih, bajuku bersih dan popokku diganti berkali-kali. Aku tak pernah membayangkan seandainya bayi yang digendong ibu-ibu di tepi jalan yang aku lihat tadi adalah diriku.
Sekarang ayah berhenti di lampu merah. Terlihat kembali pemandangan yang membuatku merenung. Seorang bocah yang mungkin berusia belasan tahun sedang membawa-bawa kemoceng. Ia menawarkan jasa pembersihan kaca mobil, dari satu mobil ke mobil lain. Ada segerombolan anak muda yang mungkin berusia 19-20 tahun sedang mengobrol di RTH di dekat jalan. Sambil bercanda gurau mereka menghisap berbatang-batang rokok. Sebagian dari mereka turun ke jalan sambil menggenjrengkan gitar reyotnya, bernyanyi dengan suara keras dan gembira. Aku ingin tahu, sangat ingin tahu apa yang membuat waja mereka bahagia. Sewaktu aku berusia setara dengan bocah kemoceng tadi hingga sekarang, aku selalu berurusan dengan pelajaran di sekolah. Sekolah yang seharusnya aku berjuang mati-matian di dalamnya. Aku tak pernah berpikir seandainya aku yang membawa kemoceng ataupun gitar ke jalanan yang panas dan berdebu, ataupun aku merokok di pohon-pohon pinggir jalan sambil melontarkan kata-kata kasar yang seharusnya tak diucapkan. Aku berutung, aku dapat bersekolah. Sekolahku nyaman, teduh, dilengkapi dengan pendingin ruangan dan LCD.
Apa yang membuatku kurang? Apa yang membuatku tidak beruntung? Sudah seharusnya aku bersyukur, dan tidak mengeluh atas rintangan kecil yang Tuhan berikan kepadaku. Rintangan itu hanya seujung kuku bagi-NYA. Jadi untuk apa aku hanya mengeluh dan terlarut dalam keputusasaanku? Seharusnya aku tegar, tegak berdiri menghadapi segala rintangan yang menghalangi langkahku.
Jalanku ke depan masih panjang, aku diberikan keberuntungan dan kasih sayang yang besar dari Tuhanku. Bukan waktunya aku merengek. Nikmat yang diberikan-NYA kepadaku bahkan lebih besar, sangat jauh lebih besar dari apa yang dapat aku syukuri dalam setiap do’aku.
Setiap napasku, setiap aliran darah dalam nadiku, dan bahkan setiap degup jantungku pun selalu mengagungkan nama-NYA.
Kenapa aku harus tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar