Bertepatan dengan
polemik dan kisruh penolakan mahasiswa dan elemen masyarakat di seluruh
penjuru nusantara terhadap rencana pemerintah menaikkan harga bahan
bakar minyak (BBM) dan kenakan tarif dasar listrik, bulan Maret ini
masyarakat dunia kembali akan memperingati Satu Jam untuk Bumi (Earth Hour). Khususnya di Indonesia, tahun 2012 adalah tahun keempat penyelenggaraan Earth Hour dengan tema “Ini Aksiku! Mana Aksimu?”
Peringatan satu jam untuk bumi yaitu sebuah gerakan yang digagas Organisasi Konservasi Terbesar di dunia (World Wide Fund for Nature; WWF) dan
dicanangkan sebagai hari bagi ikhtiar penyelamatan bumi dari kerusakan,
berupa inisiatif global yang mengajak individu, praktisi bisnis,
pemerintah, dan sektor publik lainnya di seluruh dunia untuk turut serta
mematikan lampu (hanya) dalam satu jam, pada hari Sabtu, 31 Maret 2012
pukul 20.30 – 21.30 (waktu setempat).
Earth Hour sebenarnya bukanlah tentang pengurangan energi selama 60 menit, namun sebagai aksi ekspresi bahwa hal kecil yang dapat dilakukan seluruh lapisan masyarakat, dari golongan suku, agama, ras, usia, dan jenis kelamin apapun dengan dilakukan dalam skala besar dapat memberi perubahan pada dunia. Ide memadamkan lampu di Earth Hour sebagai sebuah gerakan hemat energi yang salah satunya disumbang oleh penggunaan perangkat listrik sehari-hari di rumah kita.
Contoh kecil menurut catatan yang dilaporkan WWF tahun 2008 bahwa
berdasarkan hitungannya, kegiatan kecil mematikan lampu selama satu jam
di wilayah Jakarta menghemat 10 persen dari konsumsi listrik rata-rata
per jamnya atau sekitar 300 megawatt. Daya itu cukup untuk
mengistirahatkan satu pembangkit listrik dan mampu menyalakan 900 desa.
Dengan dukungan penuh masyarakat, program itu juga mampu mengurangi
beban biaya listrik Jakarta sekitar Rp200 juta. Mengurangi emisi CO2
sekitar 284 ton. Menyelamatkan lebih dari 284 pohon, karena satu pohon
bisa menghirup CO2 sebanyak satu ton sepanjang hidupnya dan menghasilkan
O2 bagi 568 orang.
Pada Tahun 2011 lalu, aksi Earth Hour ini diikuti 128 negara
di seluruh dunia, menjangkau 4.616 kota, dan melibatkan 1,3 miliar
orang. Ini menjadi aksi sukarela terbesar yang pernah disaksikan umat
manusia (NGI, 2012).
Belajar dari China
Listrik telah menjadi tolak ukur majunya suatu peradaban bagi
masyarakat dunia termasuk Indonesia karena merupakan kebutuhan vital
sebagai penggerak roda pembangunan masyarakat modern. Gerakan hemat energi tentu penting bagi segenap lapisan masyarakat, mengingat krisis energi terus membayang. Tentunya Earth Hour
tidak bisa berhenti di satu jam saja, melainkan diharapkan bisa
diadaptasi oleh pemerintahan di negara-negara partisipan untuk
melanjutkan target efisiensi energi dan perubahan gaya hidup di
kota-kota besar di dunia dengan konsumsi listrik tinggi, dan berusaha
mengaitkannya dengan potensi sumber energi baru terbarukan yang lebih
bersih dan berdampak minimal pada lingkungan.
Kita perlu belajar dari negeri tirai bambu, China, setelah
membukukan pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan dan menjadi salah satu
negara berkembang pesat, telah mengembangkan listrik tenaga angin dan
menuju negara ketiga terbesar listrik tenaga angin menggeser Spanyol
setelah Amerika Serikat dan Jerman pada 2010. Niat China mengubah
sebagian energi mereka yang sebelumnya merupakan negara berkembang pesat
dengan ketergantungan pada batubara (saat ini masih diperkirakan 70
persen) menjadi energi ramah lingkungan didukung keputusan pemerintahnya
mengadopsi ketentuan hukum yang mewajibkan kebutuhan industri-industri
diperoleh dari sumber energi terbarukan.
Energi Ramah Lingkungan
Indonesia tergolong negara yang kaya sumber daya alamnya, namun
terjadi kesalahan kebijakan pengelolaan. Produksi minyak nasional terus
menurun seiring bertambahnya usia sumur-sumur minyak yang ada. Di
lain pihak, kebutuhan bahan bakar minyak di kalangan masyarakat kian
tinggi sebagai dampak pesatnya pertumbuhan ekonomi. Akibatnya,
Indonesiapun kini menjadi importir minyak.
Peluang pengembangan energi alternatif di Indonesia cukup besar,
karena banyak potensi alam atau hayati yang bisa dimanfaatkan. Kekayaan
gas alam dan batu bara melimpah, sinar matahari memancar sepanjang
tahun, serta kekayaan sumber daya alam terbarukan yang tersedia dalam
jumlah yang tak terhingga. Luas permukaan laut dipanaskan secara
terus-menerus dengan bantuan sinar matahari, sekitar 90 persen dari
energi matahari yang menyinari lautan ditampung oleh laut. Energi radiasi sinar mataharitersebut dapatmenghasilkan tenaga listrik yang dikenal dengan Ocean Thermal Energy Conversion, namun belum termanfaatkan secara optimal.
Di Indonesia yang terletak di lajur sabuk gunung api, energi panas
bumi (geotermal) sebagai sumber energi terbarukan saat ini belum
termanfaatkan dengan baik. Sebagian besar sumber energi geotermal hanya
dimanfaatkan sebagai objek wisata. Padahal, dengan meningkatnya
kebutuhan energi dunia ditambah semakin tingginya kesadaran akan
kebersihan dan keselamatan lingkungan, maka energi geotermal akan
mempunyai masa depan yang cerah. Energi panas bumi di Indonesia
mempunyai potensi 29.038 MW atau setara 1,1 juta barrel minyak per hari
(sekitar 40 persen dari potensi dunia) namun hingga kini baru
termanfaatkan 1,196 MW atau sekitar 4,1 persen dari total potensi di
bawah Filipina yang mencapai 2.000 MW dan Amerika Serikat yang sampai
4.000 MW
Kampanye menyeluruh untuk melawan pemanasan global dan kesadaran
untuk berperan aktif melakukan hal kecil dan berpartisipasi mematikan
lampu “satu jam untuk bumi” hanyalah contoh kecil upaya efisiensi energi
sudah dilakukan namun memberikan suatu manfaat perubahan yang besar
bagi ketahanan energi dan kelangsungan hidup planet bumi. Tentunya
upaya tersebut masih perlu ditingkatkan dan perlu mengingatkan semua
orang bahwa bergaya hidup hemat energi tidak hanya dengan berpartisipasi
di “satu jam untuk bumi” saja, tetapi aksi kecil ini harus terus
dilakukan setiap hari sehingga membantu menyelamatkan masa depan bumi
dan mahkluk hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar